Obituari Jenderal Besar Soeharto
Oleh Budi Setiawanto dan GN Cahya Aryani
Angka 8 yang misterius. Jenderal Besar (Hor) H Muhammad Soeharto lahir 8 Juni 1921, wafat Januari 2008 dalam usia 86 tahun 7 bulan setelah 8 kali dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan pasca lengser dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998.
Tak ada lagi jenderal besar, tak ada lagi “the smiling general”, tak ada lagi bapak pembangunan, dan tak ada lagi kucing-kucingan kasus hukum terhadap dia.
Ya, sang penguasa sepanjang zamannya telah tiada, menghadap Sang Maha Penguasa. Indonesia berkabung.
Soeharto tutup usia pada hari Minggu (27/1) pukul 13.10 WIB di Ruang VVIP Nomor 536 RSPP setelah dirawat di rumah sakit itu sejak Jumat 4 Januari 2008 karena gangguan jantung, paru-paru, dan ginjal, serta penumpukan cairan dalam tubuh. Sebelum dibawa ke rumah sakit Soeharto telah sakit selama seminggu dikediamannya di Jalan Cendana No.8, Menteng, Jakarta Pusat.
Menjelang ajal, Soeharto pada Jumat (11/1) sekitar pukul 20.00 WIB sempat diberi obat tidur. Ia perlu ditidurkan agar ventilator atau alat bantu pernafasan dapat mengatasi sesak nafas akut dan tidak merasakan sakit selama ventilator dipasang.
Ventilator dipasang ke tubuh Soeharto karena pada sekitar pukul 17.00 WIB terjadi kegawatan kondisi Soeharto akibat tekanan darah yang merosot hingga 90/45 mm air raksa dan sesak nafas akut.
Sebelum ventilator, tim dokter yang menangani Soeharto juga telah memasang alat pacu jantung untuk membantu fungsi jantung dan alat cuci darah untuk membantu fungsi ginjal.
Pada Minggu (13/1) siang ketua tim dokter kepresidenan dr Mardjo Soebiandono mengumumkan bahwa kondisi Soeharto sangat kritis karena terjadi penurunan fungsi hampir seluruh organ tubuh, terjadi gangguan aerodinamik, tekanan darah 80-90/40 mm air raksa, penurunan HB, dan penyumbatan aliran nafas.
Sejak lengser, Soeharto telah delapan kali masuk RSPP yakni pertama pada 20 Juli 1999 karena stroke ringan, kedua pada 2 Februari 2001 untuk operasi usus buntu, ketiga pada 26 April 2004 karena pendarahan usus besar.
Soeharto masuk kembali ke RSPP untuk keempat kalinya pada Mei 2005 karena mengalami pendarahan serius yang mengganggu fungsi otak, jantung dan paru sehingga menimbulkan sesak nafas. Kelima pada 5 November 2005, Soeharto dirawat di RSPP karena mengalami pendarahan usus besar.
Untuk keenam kalinya, Soeharto masuk RSPP pada awal Mei 2006 untuk operasi usus dan pada Juli 2006 masuk lagi ke RSPP untuk ke-7 kalinya untuk pengambilan selang di lambung, dan pada 4 Januari 2008 masuk lagi ke RSPP untuk ke-8 kalinya.
Upaya terbaik puluhan dokter ahli dari tim dokter kepresidenan dan tim dokter lainnya serta peralatan kedokteran mutakhir, akhirnya menyerah, tak mampu menolong salah seorang ikon republik ini.
Doa bersama dari berbagai kalangan masyarakat di berbagai daerah untuk kesembuhan Soeharto pun dijawab Sang Maha Pencipta dengan memanggil Soeharto kembali keharibaan-Nya.
Sejak terakhir dirawat di RSPP, Soeharto menyedot perhatian publik. Tak hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla yang datang menjenguk, tetapi juga para pejabat tinggi dan mantan pejabat, termasuk Guruh Soekarnoputra, bahkan para korban pelanggaran HAM era Orde Baru.
Tamu asing, mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew juga menyempatkan diri datang menjenguk.
Semua mengharap kesembuhan Soeharto tetapi takdir berkata lain. “Innaa lillahi wa innaa illaihi raaji`uun”, sesungguhnya kita semua milik Allah dan sesungguhnya kita semua akan kembali kepada-Nya.
Kehilangan
Kepergian Soeharto tentu merupakan kehilangan bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak, selama 32 tahun sejak 1966, bangsa Indonesia dipimpin oleh dia.
Ketika ia memutuskan berhenti dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998 saja, sebagian rakyat merasa kehilangan meskipun ada sebagian lain, terutama pihak-pihak yang mendesak pengunduran dirinya, merasa senang.
Kini hanya kenangan atas kepergian Soeharto dari kehidupan di dunia ini yang bisa mengingatkan kembali tentang sosoknya yang monumental.
Soeharto lahir di Dusun Kemusuk Desa Argomulyo Kecamatan Godean Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta pada 8 Juni 1921.
Ia putra pasangan Kertosudiro dan Sukirah. Ayahnya merupakan petugas ulu-ulu atau pembantu kepala desa yang bertugas mengatur pengairan persawahan di desa itu.
Pendidikan umum yang pernah ditempuh Soeharto adalah Sekolah Dasar (Ongko Loro) di Kemusuk 1929-1931, Sekolah Rakyat di Wuryantoro 1931-1935, SMP di Yogyakarta 1935-1939, dan SMA (C) di Semarang tahun 1956.
Sedangkan pendidikan militer yang pernah dijalani Soeharto adalah Pendidikan Dasar Militer KNIL 1940, Sekolah Kader Kopral 1940, Sekolah Kader Sersan 1941, Sekolah Perwira untuk Tjudancho 1944, dan Kursus C-II tahun 1956.
Buku “Manajemen Presiden Soeharto” (Yayasan Bina Generasi Bangsa, Jakarta 1996) menyebut riwayat pekerjaan Soeharto dimulai sebagai klerk bank desa di Wuryantoro tahun 1940 lalu menjadi anggota kepolisian di Yogyakarta 1942, Shodancho Pembela Tanah Air (PETA) dan Tjudancho 1943-1944.
Selama tahun 1945-1950, Soeharto terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan RI. Selama kurun waktu tersebut ia memegang jabatan sebagai komandan kompi, komendan batalyon, komandang brigade, komandan WK (Wehr Kreise) di Yogyakarta.
Pada kurun waktu tersebut, Soeharto pada 26 Desember 1947 menikah dengan putri wedana Surakarta bernama Siti Hartinah (24 tahun) di Surakarta. Pasangan tersebut dikaruniai enam anak yakni Siti Hardijanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harjadi (Titik), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hetami Endang Adiningsih (Mamiek).
Pada 1950, Soeharto menjabat Komandan Brigade Mataram yang pernah bertugas memadamkan pemberontakan Andi Aziz di Makassar. Pada 1951-1953 ia menjabat Komandan Brigade Pragola, Surakarta dan Komandan Resimen 15 pada tahun 1953-1956.
Pada 1956 Soeharto menjabat Perwira Menengah yang diperbantukan Kepala Staf untuk mengikuti Planning SUAD sebelum ditunjuk sebagai Kepala Staf Teritorial IV, Semarang, pada tahun yang sama, dan menjadi Panglima Teritorial IV 1956-1959 merangkap Dewan Kurator Akademi Militer Nasional.
Soeharto menjabat Deputi I Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada 1960-1961 merangkap Ketua Adhoc Retolong Depad, merangkap Panglima Korps Tentara I Tjaduad, merangkap Panglima Konud AD.
Pada 1962-1963, Soeharto menjadi Panglima Mandala merangkap Dejanid, Panglima Kostrad 1963-1965, Menteri Pangad/Kastaf KOTI tahun 1966.
Atas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan 30 September 1965 berupa aksi penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat, Soeharto tampil menumpas pemberontakan itu. PKI dibubarkan, pimpinan, pengurus, anggota dan simpatisan PKI banyak yang ditangkap dan dibunuh.
Melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno, Soeharto ditunjuk sebagai pengambil segala tindakan untuk menjamin ketenangan dan kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.
Pada 27 Maret 1966, Soeharto merangkap sebagai Wakil Perdana Menteri ad interim Hankam, kemudian menjabat Ketua Presidium Kabinet Ampera, Menteri Utama Hankam. Ia juga menjadi Menteri Panglima AD pada 1 Juli 1966.
Pada 22 Juli 1966, Soeharto dipercaya MPRS sebagai Penjabat Presiden RI menggantikan Presiden Soekarno sampai 28 Maret 1968. Ia tampil sebagai pemimpin Orde Baru yang mengoreksi total Orde Lama era Soekarno.
Soeharto kemudian dipercaya menjadi Presiden RI periode 1968-1973, 1973-1978, 1978-1983, 1983-1988, 1988-1993, 1993-1998. Perhatikan periode kepemimpinan Soeharto yang selalu dihiasi angka 8.
Orde Baru (terdiri atas 8 huruf) menjadi rezim sentralistik, terpusat pada Soeharto sebagai pengendali utama stabilitas dan kesinambungan pembangunan dan demokrasi. Pemerintahan berciri militeristik. Mereka yang bersuara berbeda dengan pemerintah, dikebiri, dicap sebagai penghambat pembangunan, kekiri-kirian atau antek PKI dan anti Pancasila.
Hak-hak politik rakyat pun sangat dibatasi secara ketat. Partai Politik dikurangi menjadi hanya dua, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sedangkan Golongan Karya (Golkar) yang secara eksplisit dinyatakan bukan sebagai partai politik tetapi menjadi organisasi peserta pemilu bersama kedua partai politik itu.
Soeharto yang menjadi Ketua Dewan Pembina Golkar ditambah birokrasi dan ABRI yang turut menjadi pilar kekuatan Golkar tentu saja membuat Golkar selalu tampil sebagai mayoritas tunggal dalam Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 dan dalam parlemen atau di MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Sidang Umum MPR pada Maret 1998 pun memilih kembali Soeharto untuk periode 1998-2003 di tengah gelombang gerakan reformasi pasca krisis moneter sejak Juli 1997 dan rasa “miris” yang seringkali diungkapkan Soeharto ketika itu apakah rakyat memang benar-benar menginginkan dia untuk terus memimpin.
Selang dua bulan menjabat Presiden pada periode ketujuh kepemimpinan lima tahunannya, ia mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 lantaran didesak mundur bahkan oleh Ketua MPR Harmoko yang mantan Menteri Penerangan dan dikenal sebagai pendukung setia Soeharto, berbagai kerusuhan massa yang tak terkendali, dan kegagalan Soeharto dalam membentuk Komite Reformasi karena tidak mendapatkan tanggapan dari tokoh-tokoh lain.
“Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan DPR dan Pimpinan fraksi-fraksi, saya memutuskan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, hari Kamis 21 Mei 1998,” kata Soeharto di Istana Merdeka sekitar pukul 09:05 WIB seusai silaturahmi antara jajaran pemerintahannya dengan pimpinan MPR/DPR dan fraksi-fraksi MPR/DPR.
Wapres BJ Habibie di tempat yang sama mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden menggantikan Soeharto di hadapan Mahkamah Agung. Pelantikan tak berlangsung di Gedung MPR/DPR karena “gedung rakyat” diduduki mahasiswa.
Panglima ABRI Jenderal Wiranto di tempat yang sama juga memberikan keterangan lisan bahwa ABRI akan memberikan jaminan keamanan bagi Soeharto dan keluarganya.
Pasca Soeharto lengser keprabon, tuntutan hukum terhadap dirinya atas berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) meskipun gencar dilakukan tetapi tak kunjung membuahkan hasil.
Sejumlah kasus korupsi yang dituduhkan kepada Soeharto tak terlepas dari praktek pada sejumlah yayasan yang dipimpinnya seperti Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dakab (Dana Abadi Karya Bhakti), Dana Sejahtera Mandiri, Trikora, Dharmais, dan Harapan Kita.
Pengadilan terhadap Soeharto tak pernah menyeret Soeharto ke balik terali besi. Setidaknya hanya anaknya, Tommy Soeharto, yang pernah dijebloskan ke penjara karena kepemilikan senjata ilegal, selain kroninya, Bob Hasan, dan adiknya, Probosutedjo yang pernah pula dipenjarakan.
Faktor gangguan kesehatan menjadi alasan penyebab Soeharto tak bisa diadili bahkan pihak Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Pengusutan (SP3) atas Soeharto.
Aparat penegak hukum dan pemerintahan pasca Soeharto cenderung pada aspek kemanusiaan mengingat jasa-jasa Soeharto pada negeri ini.
Perkembangan terakhir, Jaksa Agung Hendarman Supandji seusai menjenguk Soeharto pada Sabtu (12/1) dinihari menawarkan “win-win solution” kepada pihak keluarga Soeharto melalui penyelesaian masalah tersebut di luar pengadilan (out of court settlement).
Atas jasa-jasanya, Soeharto sedikitnya memiliki 28 tanda kehormatan Republik Indonesia antara lain Bintang Republik Indonesia Adipurna, Bintang Mahaputera Adipurna, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Yudha Dharma Utama, dan Bintang Kartika Eka Pakci Utama.
Soeharto pun sempat mengangkat dirinya sebagai Jenderal Besar dan memberikan pangkat tertinggi kehormatan itu pula kepada mantan Ketua MPRS dan mantan Menpangad AH Nasution. Sebelumnya bangsa Indonesia hanya mengenal pahlawan Sudirman sebagai Panglima Besar berpangkat Jenderal Besar.
Selain itu Soeharto juga memiliki 37 tanda kehormatan mancanegara seperti “The United Nations Population Award” dari PBB karena berhasil dalam program Keluarga Berencana, “From Rice Importer to Self Sufficiency” dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) karena berhasil dalam swasembada beras tahun 1984, “Health for all Gold Medal” dari Organisasi Kesehatan dunia (WHO) karena berhasil dalam memajukan bidang kesehatan.
Termasuk mendapat sejumlah bintang kehormatan tertinggi dari kepala negara-negara sahabat seperti “Knight Cross of The Order of The Bath” (Inggris), “Grand Cordon of The Supreme Order of The Chrysanthenum” (Jepang), “Grand Collier” (Italia), “Grand Croix de la Legion D`Honneur” (Prancis), “Badar” (Arab Saudi), “The Order of The Golden Ark” dan “Order van de Nedherlandse Leeuw” (Belanda), “Sonderstufe des Grosskreuzes” (Jerman), dan “Grand Collar of the Nile” (Mesir).
Bagi para pembantu pemerintahannya, Soeharto dikenal memiliki “hasta brata” atau 8 prilaku seperti surya melambangkan sikap menghidupi, “condra” (bulan) menenangkan, “kartika” (bintang) yang menjadi pedoman atau suri tauladan, “angkosa” (angkasa) yang adil, “dahono” (api) yang berani mengambil keputusan, “maruta” (angin) yang mengerti, “samodra” (lautan) yang berpandangan luas, dan bumi yang melambangkan kesentosaan dan realistis.
Soeharto kini telah menyusul mendiang istrinya yang wafat tahun 1997. Soeharto meninggalkan enam anak dan sejumlah cucu.
Istrinya yang wafat bertepatan dengan Hari Raya Iduladha 10 Dzulhijjah 1418 H itu telah dimakamkan di pemakaman keluarga di Astana Giribangun, di Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Jenazah Soeharto pun akan dimakamkan di sisi makam istrinya.
Manusia tak luput dari kesalahan. Tidak semua kesalahan dapat dihukum di dunia. Tetapi di akhirat kelak, agama mengajarkan tak ada kesalahan sekecil apapun yang luput dari hukum Tuhan.
Selamat jalan Soeharto. Namamu yang terdiri atas 8 huruf selalu dikenang bangsa Indonesia.(*)
Copyright © 2008 ANTARA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar