Google
 

Selasa, 08 April 2008

Pejabat Ngantukan

PROBLEM bangsa ini terlalu amat banyak. Dari perkara serius sampai yang ecek-ecek. Dari kesulitan keuangan, korupsi, kemiskinan dan kebodohan, sampai soal-soal sepele, seperti kebiasaan mengantuk. Semuanya menjadi beban pemimpin untuk membereskan.

Lebih celaka lagi, soal-soal sepele yang mestinya tidak perlu membebani, menghinggapi para pemimpin yang seharusnya menjadi bagian dari solusi. Ini baru celaka dua belas.

Itulah yang terjadi kemarin pagi di ruang Gedung Lemhannas, Jakarta. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai pembicara dengan tema serius. Yaitu konsolidasi pembekalan pemerintah daerah di hadapan para bupati dan ketua DPRD yang sedang belajar pada lembaga tersebut.

Di tengah pengarahan, SBY menggebrak podium. Semua peserta terhenyak. Ternyata Presiden mendapati salah satu peserta, seorang bupati, tertidur pulas, justru ketika pembicaraan SBY memasuki persoalan penting, kerakyatan. "Seharusnya Anda merasa berdosa pada rakyat. Saat kita bicarakan nasib rakyat, kok tidur," kata Presiden kesal.

Nasib bupati yang kedapatan tidur itu terancam. Walaupun tidak memaksa, Presiden minta kepada Muladi, Ketua Lemhannas, agar tidak terlalu mudah meluluskan peserta yang suka mengantuk itu.

Muladi pun merasa tertimpa kecelakaan. Padahal, menjelang kelas dengan Presiden, dia sudah wanti-wanti mengingatkan para peserta agar tidak mengantuk dan ditambah larangan lain, tidak main SMS. Walaupun mengantuk, kata Muladi, adalah hal yang manusiawi. Apalagi bagi penderita diabetes.

Banyak alasan pembenaran bisa dicari untuk membela dan memahami mengapa orang mengantuk. Mungkin terlalu capek, mungkin tidur terlambat, mungkin ruangan kurang oksigen, dan berbagai penyebab lainnya.

Mengantuk harus dibawa tidur. Itu perintah ilmu kesehatan. Tetapi dalam praktik, tidak semua rasa kantuk harus dilayani dengan tidur di sembarang tempat dan sembarang kesempatan.

Ada aspek kepatutan yang harus dipatuhi. Murid tidak boleh tidur pada saat guru sedang mengajar. Jangankan tidur, menguap pun harus ditutup mulutnya, entah dengan tangan atau dengan sapu tangan atau alat penutup lainnya.

Sidang-sidang di gedung DPR adalah parade orang ngantuk. Mereka mengorok karena pulas. Di sini tidur dan mengantuk pada saat sidang lama-kelamaan harus dibela dengan undang-undang.

Bukan baru sekali ini SBY memarahi orang yang kedapatan tidur sewaktu bersidang. Beberapa menteri, konon, pernah ditegur ketika tidak memberi perhatian serius atau mengobrol pada saat rapat.

Bupati yang tidur, anggota DPR yang ngorok di saat sidang, adalah contoh persoalan yang sepatutnya tidak perlu terjadi. Mereka adalah elite dan pemimpin yang harus menjadi teladan dalam hal kepatutan itu. Masak rakyat harus dibebani dengan persoalan bagaimana mengatasi pejabat-pejabat yang ngantukan itu.

Ternyata berat nian menjadi Presiden di Republik ini. Dia tidak hanya dituntut memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai pemecah persoalan berat dan akut, tetapi juga mengurusi masalah-masalah sepele yang sesungguhnya tidak perlu menjadi problem.

Masak Presiden harus diberi beban tambahan untuk mengatasi seorang bupati yang mengantuk. Padahal, bupati dan presiden dalam era sekarang, sama-sama dipilih rakyat. Masak harus ada syarat tambahan bebas ngantuk bagi calon pemimpin di masa mendatang?

Karena terlalu banyak tetek bengek yang menjadi beban, negara ini cenderung melahirkan regulasi yang mengada-ada. Apa perlu ada perda larangan pejabat mengantuk? Ada-ada saja.


sumber : media Indonesia

Tidak ada komentar:

Sponsor News


Jobs Online- Informasi Kerja Online
CO.CC:Free Domain

PageRank

eXTReMe Tracker