Di masa lalu, termasuk selama era pemerintahan Orde Baru, para artis mulai penyanyi dangdut, penyanyi keroncong, pemain film, bintang sinetron hingga pelawak dan bintang iklan, atau ringkas kata para selebritas, dikerahkan oleh kekuatan politik peserta pemilu untuk menjadi vote getter (pendulang suara) sebanyak-banyaknya, agar parpol atau kekuatan politik peserta pemilu bersangkutan meraih kemenangan. Di era reformasi, khususnya menjelang Pemilu 2009 ini, para selebritas tak lagi hanya bermain di panggung kampanye sambil mengibarkan bendera partai yang didukungnya (atau partai pemesannya). Mereka bahkan langsung terjun sebagai calon legislatif atau pemimpin eksekutif dan berganti parpollah yang mengibarkan bendera bergambar foto selebritas yang didukungnya.
Sudah berapa banyak selebritas yang berhasil ataupun baru mau mendaftarkan diri untuk menjadi caleg, kepala daerah atau wakilnya? Parpol mana saja yang mengusungnya? Pertanyaan ini tak begitu penting. Yang lebih penting adalah substansinya. Sebab, fenomena ini mengundang banyak tanda tanya. Pertanyaan yang mendasar adalah, apakah parpol memang sudah kehabisan napas sekaligus pamor serta popularitasnya di tengah masyarakat sehingga perlu "menumpang hidup" pada kaum selebritas? Kalau ya, apakah ini bukan pertanda bahwa harga politisi yang dimiliki parpol sudah tak layak jual sehingga perlu menampilkan "darah segar" para selebritas? Pertanyaan mendasar berikutnya tentu saja, apakah andaikata selebritas itu berhasil terpilih sebagai pemenang dan muncul sebagai caleg atau calon kepala daerah, ada jaminan bahwa kemampuan politiknya mencukupi dan tidak mengecewakan rakyat? Sebab, jabatan-jabatan di legislatif dan pimpinan daerah adalah jabatan untuk eksis di ranah politik dan bukan soal kemapanan di panggung hiburan.
Munculnya caleg dan calon eksekutif dari kalangan selebritas jelas karena ada kejenuhan politik di kalangan rakyat, akibat tokoh dari partai politik yang selama ini tampil dinilai tak berhasil memperbaiki nasib rakyat. Karena itu (masih dalam kapasitas ibarat memilih kucing dalam karung), mereka mencoba beralih pilihan dari politisi ke selebritas.
Perpindahan pilihan ini akan menimbulkan implikasi politis yang serius ketika bangsa kita sedang membutuhkan tampilnya negarawan untuk memimpin negeri ini. Kalau selama ini di kalangan politisi belum ada yang mampu berperan sebagai negarawan, bagaimana pula dengan selebritas? Mampukah selebritas menjadi negarawan yang mumpuni? Bukankah baik politisi maupun selebritas kita masih berada pada level yang sama dalam kapasitasnya sebagai pencari untung untuk kepentingan pribadi? Hanya habitatnya yang berbeda.
Politisi menangguk untung lewat partai politiknya agar apabila duduk di legislatif atau kabinet bisa melakukan korupsi. Sementara itu selebritas menangguk untung lewat panggung pertunjukan hingga iklan obat-obatan. Hakikatnya sama saja, berbisnis.
Kita menyadari, selama ini reformasi mengalami kebangkrutan karena di satu sisi ditelikung para politisi busuk yang sama sekali tidak memperjuangkan agenda reformasi, dan di sisi lain karena miskin negarawan yang memiliki prinsip dasar pengelolaan negara.
Selama sepuluh tahun perjalanan reformasi, pesawat kita telah dibajak oleh para penumpang gelap reformasi yang berperilaku sebagai petualang politik dan telah berhasil melumpuhkan eksistensi pilot, sehingga mereka bebas mengarahkan serta mengatur pendaratan pesawat sesuai kemauan mereka dan bukan sesuai dengan harapan rakyat. Fenomena ini mengingatkan kita pada pandangan Karl Gunner Myrdal (1909-1987) yang menyebut negara kita sebagai soft state. Sebagai sebuah negara lunak yang serba permissible, pemerintah dan rakyatnya tidak memiliki acuan moralitas yang jelas dalam mengelola negara. Pembajakan ini sudah diketahui masyarakat luas.
Karena itu, kini muncul strategi yang dianggap lebih kompatibel, di mana parpol membuka pintu agar banyak selebritas masuk kancah politik lewat parpol yang bersangkutan. Siapa tahu menang dan nama parpol itu pun ikut berkibar dan sama-sama bisa menangguk untung. Dan, ini artinya hubungan parpol dengan selebritas diposisikan untuk membuka peluang bagi kolaborasi atau perselingkuhan politik.
George E Taylor dalam The Philippines and The United States: Problems of Partnership- New York 1964, menyebutkan bahwa "untuk orang-orang Filipina, politik adalah industri yang terpenting; politik adalah cara hidup. Politik merupakan jalan utama menuju kekuasaan, dan kekuasaan adalah jalan utama menuju harta kekayaan. Lebih banyak uang yang dapat dikeruk dalam waktu singkat dengan menggunakan pengaruh politik daripada dengan cara-cara lain".
Barangkali, bukan hanya orang Filipina yang memiliki hak monopoli tafsir hubungan politik dengan harta dan takhta seperti itu. Di Indonesia, itu sudah lagu lama. Dan inilah penyebab utama kita tak pernah berhasil menemukan negarawan. Kita sibuk mencarinya, tapi yang bisa dituai hanya politisi dan kini ditambah selebritas. Tapi, haruskah para selebritas dipandang dengan sebelah mata karena dianggap tidak akan mampu mengelola negara?
Bukankah sejak dulu para politisi kita juga ternyata hanya mampu mengelola kepentingannya sendiri? Yang jelas, rakyat masih tetap mengharapkan, siapa pun yang tampil sebagai pemimpin akan membuka kemungkinan hidup lebih baik. Seperti dikemukakan oleh Otto von Bismarck (1815-1898), politics is the art of the possible.
Politik itu memang seni tentang kemungkinan-kemungkinan. Rakyat masih mengharapkan adanya kemungkinan agar kebangkrutan reformasi tidak mengembang menjadi kebangkrutan etika dan moralitas serta krisis spiritual yang ujung-ujungnya akan melahirkan pembohongan publik dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis adalah Ketua Kelompok Kajian Humaniora untuk Demokrasi dan Lintas Agama.
Sudah berapa banyak selebritas yang berhasil ataupun baru mau mendaftarkan diri untuk menjadi caleg, kepala daerah atau wakilnya? Parpol mana saja yang mengusungnya? Pertanyaan ini tak begitu penting. Yang lebih penting adalah substansinya. Sebab, fenomena ini mengundang banyak tanda tanya. Pertanyaan yang mendasar adalah, apakah parpol memang sudah kehabisan napas sekaligus pamor serta popularitasnya di tengah masyarakat sehingga perlu "menumpang hidup" pada kaum selebritas? Kalau ya, apakah ini bukan pertanda bahwa harga politisi yang dimiliki parpol sudah tak layak jual sehingga perlu menampilkan "darah segar" para selebritas? Pertanyaan mendasar berikutnya tentu saja, apakah andaikata selebritas itu berhasil terpilih sebagai pemenang dan muncul sebagai caleg atau calon kepala daerah, ada jaminan bahwa kemampuan politiknya mencukupi dan tidak mengecewakan rakyat? Sebab, jabatan-jabatan di legislatif dan pimpinan daerah adalah jabatan untuk eksis di ranah politik dan bukan soal kemapanan di panggung hiburan.
Munculnya caleg dan calon eksekutif dari kalangan selebritas jelas karena ada kejenuhan politik di kalangan rakyat, akibat tokoh dari partai politik yang selama ini tampil dinilai tak berhasil memperbaiki nasib rakyat. Karena itu (masih dalam kapasitas ibarat memilih kucing dalam karung), mereka mencoba beralih pilihan dari politisi ke selebritas.
Perpindahan pilihan ini akan menimbulkan implikasi politis yang serius ketika bangsa kita sedang membutuhkan tampilnya negarawan untuk memimpin negeri ini. Kalau selama ini di kalangan politisi belum ada yang mampu berperan sebagai negarawan, bagaimana pula dengan selebritas? Mampukah selebritas menjadi negarawan yang mumpuni? Bukankah baik politisi maupun selebritas kita masih berada pada level yang sama dalam kapasitasnya sebagai pencari untung untuk kepentingan pribadi? Hanya habitatnya yang berbeda.
Politisi menangguk untung lewat partai politiknya agar apabila duduk di legislatif atau kabinet bisa melakukan korupsi. Sementara itu selebritas menangguk untung lewat panggung pertunjukan hingga iklan obat-obatan. Hakikatnya sama saja, berbisnis.
Kita menyadari, selama ini reformasi mengalami kebangkrutan karena di satu sisi ditelikung para politisi busuk yang sama sekali tidak memperjuangkan agenda reformasi, dan di sisi lain karena miskin negarawan yang memiliki prinsip dasar pengelolaan negara.
Selama sepuluh tahun perjalanan reformasi, pesawat kita telah dibajak oleh para penumpang gelap reformasi yang berperilaku sebagai petualang politik dan telah berhasil melumpuhkan eksistensi pilot, sehingga mereka bebas mengarahkan serta mengatur pendaratan pesawat sesuai kemauan mereka dan bukan sesuai dengan harapan rakyat. Fenomena ini mengingatkan kita pada pandangan Karl Gunner Myrdal (1909-1987) yang menyebut negara kita sebagai soft state. Sebagai sebuah negara lunak yang serba permissible, pemerintah dan rakyatnya tidak memiliki acuan moralitas yang jelas dalam mengelola negara. Pembajakan ini sudah diketahui masyarakat luas.
Karena itu, kini muncul strategi yang dianggap lebih kompatibel, di mana parpol membuka pintu agar banyak selebritas masuk kancah politik lewat parpol yang bersangkutan. Siapa tahu menang dan nama parpol itu pun ikut berkibar dan sama-sama bisa menangguk untung. Dan, ini artinya hubungan parpol dengan selebritas diposisikan untuk membuka peluang bagi kolaborasi atau perselingkuhan politik.
George E Taylor dalam The Philippines and The United States: Problems of Partnership- New York 1964, menyebutkan bahwa "untuk orang-orang Filipina, politik adalah industri yang terpenting; politik adalah cara hidup. Politik merupakan jalan utama menuju kekuasaan, dan kekuasaan adalah jalan utama menuju harta kekayaan. Lebih banyak uang yang dapat dikeruk dalam waktu singkat dengan menggunakan pengaruh politik daripada dengan cara-cara lain".
Barangkali, bukan hanya orang Filipina yang memiliki hak monopoli tafsir hubungan politik dengan harta dan takhta seperti itu. Di Indonesia, itu sudah lagu lama. Dan inilah penyebab utama kita tak pernah berhasil menemukan negarawan. Kita sibuk mencarinya, tapi yang bisa dituai hanya politisi dan kini ditambah selebritas. Tapi, haruskah para selebritas dipandang dengan sebelah mata karena dianggap tidak akan mampu mengelola negara?
Bukankah sejak dulu para politisi kita juga ternyata hanya mampu mengelola kepentingannya sendiri? Yang jelas, rakyat masih tetap mengharapkan, siapa pun yang tampil sebagai pemimpin akan membuka kemungkinan hidup lebih baik. Seperti dikemukakan oleh Otto von Bismarck (1815-1898), politics is the art of the possible.
Politik itu memang seni tentang kemungkinan-kemungkinan. Rakyat masih mengharapkan adanya kemungkinan agar kebangkrutan reformasi tidak mengembang menjadi kebangkrutan etika dan moralitas serta krisis spiritual yang ujung-ujungnya akan melahirkan pembohongan publik dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis adalah Ketua Kelompok Kajian Humaniora untuk Demokrasi dan Lintas Agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar