Setiap kali memasuki musim kemarau, asap dari kebakaran hutan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia selalu menimbulkan dampak yang merugikan. Bahkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura tak luput terkena getahnya. Sumatera dan Kalimantan adalah wilayah yang selalu menjadi langganan kebakaran setiap kali musim kemarau. Gangguan yang ditimbulkan oleh adanya asap kebakaran yang paling ringan adalah mata perih, disusul kemudian gangguan pernapasan. Dampak yang paling membahayakan adalah tertutupnya jalan darat dan transportasi pesawat yang dapat menimbulkan kecelakaan, yang sudah tentu akan memakan korban jiwa.
Kebakaran hutan akibat kondisi musim kemarau memungkinkan lebih banyak wilayah hutan dan lahan yang terbakar. Sebagian penduduk yang tinggal di kawasan hutan juga acap kali membakar semak belukar sebagai salah satu cara pembukaan lahan pertanian mereka. Selain cepat dan mudah, cara ini pembukaan lahan dengan cara dibakar ternyata memiliki kelemahan yaitu hilangnya unsur hara yang penting bagi tanaman. Namun disadari atau tidak cara ini sudah menjadi tradisi yang sulit untuk dihilangkan. Penyebab lain adanya kebakaran adalah akibat puntung rokok yang dibuang sembarangan, terutama para petani di daerah yang senang bekerja sambil merokok.
Fenomena alam yang terjadi di Indonesia merupakan ciri khas tersendiri. Namun, fenomena yang muncul setiap tahunnya tidak diimbangi dengan upaya pencegahan yang menyeluruh. Kebakaran adalah salah satu contoh nyata bagaimana buruknya pengelolaan hutan di Indonesia. Sebagian besar hutan kita ternyata dalam kondisi memprihatinkan, gundul dan yang tersisa hanya onggokan batang pohon sisa penebangan. Sebagaimana kita ketahui, hutan merupakan salah satu sumber penyedia air yang sangat potensial. Keberadaan sumber-sumber air dalam tanah akan tetap terjaga apabila hutan sebagai penyangganya tetap terpelihara. Jika hutan yang dijadikan penyangganya habis dibabat, maka yang muncul adalah kekeringan. Kekeringan inilah yang menjadi pemicu mudahnya kawasan hutan terbakar. Hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 menunjukkan 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, dari jumlah tersebut 59,62 juta hektar di antaranya adalah hutan (Kompas, 24 Juni 2004).
Hilangnya hutan sebagai penyangga sumber air, menyebabkan wilayah yang mengandalkan air dari hutan mengalami kekurangan air. Tak pelak hal ini, memungkinkan terjadinya krisis air yang dapat berujung pada kematian makhluk hidup (kasus kekeringan di Sudan yang telah memakan korban jiwa). Meskipun di Indonesia belum terjadi, namun tidak menutup kemungkinan jika pengelolaan hutan tetap tidak berubah dan kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, nampaknya bencana itu mulai mengintai kita sekarang. Hal ini diindikasikan dengan semakin berkurangnya luasan hutan setiap tahunnya, ilegal logging dan penjarahan dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pemerintahan daerah dan pusat. Ratusan truk yang keluar masuk wilayah hutan di Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia, ditengarai semakin memperkuat dugaan bahwa memang telah terjadi perusakan hutan di Indonesia secara sistematis.
Ketidakpedulian pemerintah dalam mengelola hutan semakin jelas manakala dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) Nomor 1 Tahun 2004 yang mengizinkan pertambangan dilanjutkan dikawasan hutan lindung. Padahal,Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan SDA memberi gambaran setiap kebijakan publik produk pemerintah yang tidak mendukung keberlanjutan lingkungan harus disesuaikan. Dua produk pemerintah yang berbentuk undang-undang tersebut justru bertabrakan, di satu sisi ingin agar pengelolaan lingkungan dijalankan sebagaimana mestinya, di sisi lain pengeksploitasian SDA diperbolehkan bahkan dalam kawasan hutan lindung. Benar-benar sebuah peraturan yang dibuat untuk membingungkan masyarakat.
Selama ini SDA kita termasuk hutan dipandang hanya sebagai komoditas yang mampu memberikan nilai bagi perekonomian nasional. Maka yang terjadi adalah pengurasan kekayaan hutan sebesar-besarnya, baik kayunya, rotan, damar, dan kegiatan penambangan bila terdapat sumber minyak atau gas bumi. Selanjutnya yang terjadi adalah kerusakan di mana-mana. Kalau sudah seperti ini ujung-ujungnya yang menjadi korbannya adalah rakyat kecil yang selama ini menggantungkan hidupnya pada kawasan hutan. Eksploitasi seperti ini tidak hanya pada sektor kehutanan saja melainkan juga SDA lain yang cukup strategis yaitu air. Air sebagai SDA yang mempunyai peran strategis, sekarang mulai dikembangkan menjadi komoditas yang layak untuk dikomersialkan. Pengurasan sumber-sumber mata air untuk air minum isi kemasan adalah contoh nyata yang kita temui. Pada awal pemunculan, perusahaan yang bergerak dalam air minum kemasan bisa dihitung dengan jari. Belakangan, perusahaan-perusahaan baru tumbuh dengan pesatnya. Bahkan hampir dapat dipastikan di setiap daerah yang mempunyai sumber mata air berkualitas sudah dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan.
Musim kemarau yang berlangsung sekarang mulai menimbulkan dampak yang cukup berat, mulai dari cuaca yang panas, kelangkaan air, menurunnya produksi pertanian, kelangkaan sumber hijauan ternak, dan tidak beroperasinya pembangkit listri yang menjadikan air sebagai penggerak dinamo. Tidak lama lagi masyarakat kita akan berduyun-duyun berjalan puluhan kilometer untuk mendapatkan air, menggali sungai-sungai dan rawa demi mendapatkan setetes air. Pengalaman yang konon merupakan guru terbaik bagi kita ternyata tidak memberikan pelajaran yang cukup atas musibah yang terus menerus terjadi setiap tahunnya. Sebelum semuanya terlambat, ada baiknya tiga pilar penentu kebijakan yaitu presiden, DPR dan MPR merumuskan kembali agenda kebijakan tentang pengelolaan hutan, lingkungan, dan sumber –sumber air. Kita harus belajar banyak dari para suku anak dalam di Kawasan Hutan Lindung di Kerinci Jambi, bagaimana mereka mampu memelihara kawasan hutan dengan cara mereka sendiri. Dan masih banyak lagi saudara-saudara mereka yang tersebar di seluruh pelosok nusantara.
Slogan yang sering kita dengar, bahwa negara ini gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo harus kita wariskan pada anak cucu. Jangan sampai generasi pewaris penerus bangsa ini justru dibebani dengan utang, menjadi buruh di negeri sendiri, membeli SDA alam mereka sendiri akibat dikuasai asing, dan menjadi negara yang terus bergantung pada bantuan asing. Sudah saatnyalah kemandirian bangsa ini dibangun dengan nilai-nilai ajaran yang bersumber dari kebenaran Sang Pencipta, karena hakekatnya bumi dan isinya adalah milik-Nya, kita hanya sebagai pemakai dan wajib untuk merawat dan melestarikannya.
Kebakaran hutan akibat kondisi musim kemarau memungkinkan lebih banyak wilayah hutan dan lahan yang terbakar. Sebagian penduduk yang tinggal di kawasan hutan juga acap kali membakar semak belukar sebagai salah satu cara pembukaan lahan pertanian mereka. Selain cepat dan mudah, cara ini pembukaan lahan dengan cara dibakar ternyata memiliki kelemahan yaitu hilangnya unsur hara yang penting bagi tanaman. Namun disadari atau tidak cara ini sudah menjadi tradisi yang sulit untuk dihilangkan. Penyebab lain adanya kebakaran adalah akibat puntung rokok yang dibuang sembarangan, terutama para petani di daerah yang senang bekerja sambil merokok.
Fenomena alam yang terjadi di Indonesia merupakan ciri khas tersendiri. Namun, fenomena yang muncul setiap tahunnya tidak diimbangi dengan upaya pencegahan yang menyeluruh. Kebakaran adalah salah satu contoh nyata bagaimana buruknya pengelolaan hutan di Indonesia. Sebagian besar hutan kita ternyata dalam kondisi memprihatinkan, gundul dan yang tersisa hanya onggokan batang pohon sisa penebangan. Sebagaimana kita ketahui, hutan merupakan salah satu sumber penyedia air yang sangat potensial. Keberadaan sumber-sumber air dalam tanah akan tetap terjaga apabila hutan sebagai penyangganya tetap terpelihara. Jika hutan yang dijadikan penyangganya habis dibabat, maka yang muncul adalah kekeringan. Kekeringan inilah yang menjadi pemicu mudahnya kawasan hutan terbakar. Hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 menunjukkan 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, dari jumlah tersebut 59,62 juta hektar di antaranya adalah hutan (Kompas, 24 Juni 2004).
Hilangnya hutan sebagai penyangga sumber air, menyebabkan wilayah yang mengandalkan air dari hutan mengalami kekurangan air. Tak pelak hal ini, memungkinkan terjadinya krisis air yang dapat berujung pada kematian makhluk hidup (kasus kekeringan di Sudan yang telah memakan korban jiwa). Meskipun di Indonesia belum terjadi, namun tidak menutup kemungkinan jika pengelolaan hutan tetap tidak berubah dan kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, nampaknya bencana itu mulai mengintai kita sekarang. Hal ini diindikasikan dengan semakin berkurangnya luasan hutan setiap tahunnya, ilegal logging dan penjarahan dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pemerintahan daerah dan pusat. Ratusan truk yang keluar masuk wilayah hutan di Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia, ditengarai semakin memperkuat dugaan bahwa memang telah terjadi perusakan hutan di Indonesia secara sistematis.
Ketidakpedulian pemerintah dalam mengelola hutan semakin jelas manakala dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) Nomor 1 Tahun 2004 yang mengizinkan pertambangan dilanjutkan dikawasan hutan lindung. Padahal,Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan SDA memberi gambaran setiap kebijakan publik produk pemerintah yang tidak mendukung keberlanjutan lingkungan harus disesuaikan. Dua produk pemerintah yang berbentuk undang-undang tersebut justru bertabrakan, di satu sisi ingin agar pengelolaan lingkungan dijalankan sebagaimana mestinya, di sisi lain pengeksploitasian SDA diperbolehkan bahkan dalam kawasan hutan lindung. Benar-benar sebuah peraturan yang dibuat untuk membingungkan masyarakat.
Selama ini SDA kita termasuk hutan dipandang hanya sebagai komoditas yang mampu memberikan nilai bagi perekonomian nasional. Maka yang terjadi adalah pengurasan kekayaan hutan sebesar-besarnya, baik kayunya, rotan, damar, dan kegiatan penambangan bila terdapat sumber minyak atau gas bumi. Selanjutnya yang terjadi adalah kerusakan di mana-mana. Kalau sudah seperti ini ujung-ujungnya yang menjadi korbannya adalah rakyat kecil yang selama ini menggantungkan hidupnya pada kawasan hutan. Eksploitasi seperti ini tidak hanya pada sektor kehutanan saja melainkan juga SDA lain yang cukup strategis yaitu air. Air sebagai SDA yang mempunyai peran strategis, sekarang mulai dikembangkan menjadi komoditas yang layak untuk dikomersialkan. Pengurasan sumber-sumber mata air untuk air minum isi kemasan adalah contoh nyata yang kita temui. Pada awal pemunculan, perusahaan yang bergerak dalam air minum kemasan bisa dihitung dengan jari. Belakangan, perusahaan-perusahaan baru tumbuh dengan pesatnya. Bahkan hampir dapat dipastikan di setiap daerah yang mempunyai sumber mata air berkualitas sudah dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan.
Musim kemarau yang berlangsung sekarang mulai menimbulkan dampak yang cukup berat, mulai dari cuaca yang panas, kelangkaan air, menurunnya produksi pertanian, kelangkaan sumber hijauan ternak, dan tidak beroperasinya pembangkit listri yang menjadikan air sebagai penggerak dinamo. Tidak lama lagi masyarakat kita akan berduyun-duyun berjalan puluhan kilometer untuk mendapatkan air, menggali sungai-sungai dan rawa demi mendapatkan setetes air. Pengalaman yang konon merupakan guru terbaik bagi kita ternyata tidak memberikan pelajaran yang cukup atas musibah yang terus menerus terjadi setiap tahunnya. Sebelum semuanya terlambat, ada baiknya tiga pilar penentu kebijakan yaitu presiden, DPR dan MPR merumuskan kembali agenda kebijakan tentang pengelolaan hutan, lingkungan, dan sumber –sumber air. Kita harus belajar banyak dari para suku anak dalam di Kawasan Hutan Lindung di Kerinci Jambi, bagaimana mereka mampu memelihara kawasan hutan dengan cara mereka sendiri. Dan masih banyak lagi saudara-saudara mereka yang tersebar di seluruh pelosok nusantara.
Slogan yang sering kita dengar, bahwa negara ini gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo harus kita wariskan pada anak cucu. Jangan sampai generasi pewaris penerus bangsa ini justru dibebani dengan utang, menjadi buruh di negeri sendiri, membeli SDA alam mereka sendiri akibat dikuasai asing, dan menjadi negara yang terus bergantung pada bantuan asing. Sudah saatnyalah kemandirian bangsa ini dibangun dengan nilai-nilai ajaran yang bersumber dari kebenaran Sang Pencipta, karena hakekatnya bumi dan isinya adalah milik-Nya, kita hanya sebagai pemakai dan wajib untuk merawat dan melestarikannya.
*Penulis adalah anak transmigrasi yang ada di Pematang Panggang
3 komentar:
WOW..............bravo pematang panggang
Saya cuman mau bilang sama "Wong Pematang"
Saya pernah tugas didaerah pematang pada era tahun 1984 sebagai tenaga pendamping dan pemantau penepatan warga transmigrasi, disini pernah sekilah saya membayangkan apakah daerah ini akan berkebang.
Tolong tulus masalah kehidupan di daerah pematang panggang
salam
Antonius Juwawe de Cruz
Kalau saya boleh ngomong
Sebenarnya pemerintah yang ada sekarang dan dulu itu sudah mampu menuangkan suatu kebijaksanaan publik dalam bentuk UU,Peraturan maupun Keputusan. Tapi disini bisa kita lihat semuanya itu tidak akan dapat terealisasi apabila pemerintah tidak menyiapkan tenaga/aparat yang cukup,cakap dan mampu dari segi SDM.
Saya sebagai peribadi juga sangat prihatin terhadap apa yang terjadi di negara kita tercinta Indonesia.
saya
Ahmar Nugraha
saya bisa memahami rasa kecewa penulis terhadap apa yang terjadi saat ini di negeri kita.
dengan kerendah hati kita sekarang jangan cunan mengeluhkan apa yang telah terjadi dan berlangsung, tapi dengan usaha dan doa kita sama berusaha untuk menjadikan yang terbaik untuk bangsa dan negara,walau dalam usaha dan doa kita selalu menemui sandungan maupun halangan.
kita harus berpikir terhadap keberlangsungan anak cucu kita
Cah"Kulon kali"
Abdul Kadir Zailani
Posting Komentar