KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya berhasil menembus tembok arogansi pimpinan DPR. Kemarin, KPK menggeledah enam ruangan di Gedung DPR. Padahal, empat hari sebelumnya, Ketua DPR Agung Laksono tidak mengizinkan KPK menggeledah DPR dengan berbagai alasan, antara lain DPR sedang reses.
Penggeledahan itu dilakukan setelah KPK mengantongi izin dari ketua pengadilan sesuai dengan prosedur hukum acara. Prosedur itu sangatlah sederhana, seperti penggeledahan harus ada saksinya. Penggeledahan di DPR, kemarin, disaksikan Badan Kehormatan DPR dan Komisi III DPR yang membidangi hukum.
Penolakan DPR untuk digeledah KPK hakikatnya adalah pengingkaran DPR atas hak konstitusionalnya. Sebab, menurut konstitusi, DPR bersama pemerintahlah yang menyusun undang-undang termasuk hukum acara tersebut. KPK hanya menjalankan tugas yang sudah diatur secara rinci oleh DPR bersama pemerintah dalam undang-undang.
Keberhasilan KPK menggeledah ruangan di DPR juga harus dilihat sebagai kemenangan hukum. Hukum yang tidak pernah mengenal diskriminasi status sosial kelembagaan. Sebelumnya KPK pernah menggeledah ruang kerja Ketua Mahkamah Agung dan Gubernur Bank Indonesia. Dengan demikian, KPK telah menjalankan perintah konstitusi, yaitu segala warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
Penolakan DPR untuk digeledah KPK mestinya juga dilihat sebagai pembangkangan terhadap konstitusi. Karena itu, kesediaan DPR untuk digeledah, sekalipun kesadaran itu datangnya terlambat, tetap perlu diberi apresiasi.
Tentu, kita berharap, kesediaan itu bukan karena pimpinan DPR takut dengan ancaman hukuman badan paling lama 12 tahun kepada setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, dan menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan korupsi.
DPR mestinya berterima kasih kepada KPK. Mengapa? Citra DPR sudah mencapai titik nol di mata masyarakat. Dalam berbagai survei yang dilakukan lembaga independen menyangkut persepsi publik, DPR dipersepsikan sebagai lembaga terkorup di negeri ini. Kesediaan DPR untuk digeledah KPK bisa menghapus sebagian kesan DPR sebagai lembaga pelindung koruptor.
Tentu penghapusan sebagian kesan bergantung pada hasil penggeledahan. Jika KPK tidak menemukan indikasi korupsi di ruang yang digeledah, semua persepsi negatif tentang DPR kiranya terehabilitasi.
Jauh lebih elok lagi jika DPR secara sukarela meminta kepada KPK untuk menggeledah seluruh ruang kerja anggota termasuk pimpinan DPR. Apalagi jika anggota DPR secara sukarela pula meminta KPK untuk meneliti rekening bank mereka. Inisiatif seperti itu yang tidak pernah muncul dari anggota dewan.
Padahal, diperlukan cara-cara revolusioner untuk membangun citra DPR yang lebih bermartabat lagi. Tidak bisa hanya menggunakan cara-cara konvensional. Pembangunan citra yang lebih baik itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran dari dalam tubuh DPR sendiri.
Penggeledahan itulah cara KPK berterima kasih kepada DPR. KPK telah memberikan pelajaran sangat berharga kepada lembaga yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan kepada dirinya.
sumber : media Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar